Kehidupan kuno semuanya hening. Pada abad ke-19, dengan penemuan mesin, kebisingan  lahir. Hari ini, kebisingan memenangkan dan menguasai secara mutlak sensibilitas-sensibilitas manusia.   Luigi Russolo, 1913.

Sang pencetus manifesto The Art of Noises itu merakit sebuah mesin bunyi yang dinamai intonarumori. Dari tangan kreator aneh yang berasal dari kalangan pelukis Italia itu, mucullah seni kebisingan yang bersinggungan ketat dengan tradisi seni (rupa) modern saat itu. Sejak itu berkembang percobaan-percobaan eksplorasi artistik dari bunyi dan instrumennya.

Perkembangan seni kebisingan di Yogya pada awalnya tidak bersinggungan secara langsung dengan seni bising semacam Luigi Russolo itu. Walau demikian, pengaruh ‘sekolahan seni’ yang pada masa 1990an masih berlokasi di Gampingan cukup signifikan. Di kampus ISI pada mulanya, musik di tengah kampus didominasi oleh musik sampakan dan dangdutan, yang menjurus pada pelepasan penat terhadap aktivitas kuliah. Walau demikian, sampakan dan dangdutan para mahasiswa seni rupa itu dianggap berbeda karena unsur komedi dan kreatifitas tampilan di panggung-panggung. Tercatat munculnya kelompok Soekar Madjoe yang bertranformasi dari generasi ke generasi mulai di tahun 1970an sampai tahun 2000an. Pada masa itu gaya berdandan mahasiswa pun terpengaruh pada gerakan budaya populer dari para hippies, dengan celana cut bray dan rambut gondrongnya.

Era 90-an, musik dan seni rupa semakin bertemu secara asyik, termasuk pada citra visual yang diemban oleh mahasiswa seni.  Di kampus ISI ada even yang memulai mengawinkan gaya pementasan dengan dunia seni rupa, yaitu acara Recycle Music di tahun 1995. Warna musik yang diusung berbeda dengan musik-musik sebelumnya yang sangat bernuansa lokal (sampak-dangdut-rock). Kegiatan ini menandai munculnya semangat baru di kalangan mahasiswa, yaitu semangat alternatif yang berorientasi pada perbedaan tampilan yang “lain dari pada yang lain”. Hal ini ditunjukkan pada konsep pementasan, di mana pemain musik dikurung di bawah pohon besar, sementara penonton yang menyaksikan pementasan berdandan aneh-aneh seperti pesta Hellowen yang sangat tidak lazim pada masa itu (trend kostum mahasiswa seni saat itu umumnya berorientasi pada gaya cowboy dan Indian).

Di tahun 1996, beberapa mahasiswa seni rupa ISI Yogyakarta menggagas sebuah acara musik besar yang diberi nama “Twenty Something, Twenty Nothing” (TSTN). Acara ini menampilkan banyak sekali band-band alternatif pada waktu itu, band-band yang mempunyai penggemar tertentu dan tidak atau belum didistribusikan melalui label besar. Beberapa band itu antara lain Rumah Sakit, Naif, Fable dari Jakarta, bekicot, pop up pet, dari Jogjakarta, dan dari Bandung antara lain Turtle Jr. Bagi Ade Darmawan, salah satu penggagas acara ini, tujuan dari acara itu adalah untuk merefleksikan zaman. Pada waktu itu, acara musik dan aktivitas anak muda (youth culture) biasanya tidak pernah bersentuhan langsung dengan aktivitas seni rupa.

Beberapa mahasiswa seni rupa juga berkawan akrab dengan para musisi ‘dari utara’, termasuk misalnya SKM yang digawangi oleh Ari Wulu dan Jompet, serta dengan Marjuki dkk (lewat acara serial “Mencari Harmoni” dan “Parkinsound”). Dari kalangan mahasiswa ISI terdapat Seek Six Sick yang meneruskan sampai hari ini eksplorasi bunyi bising dan dianggap sebagai dedengkot ‘noise rock’ di Indonesia. Sebelum itu terdapat pula band murni eksperimental yang fenomenal, Steak Daging Kacang Ijo, yang mengobrak abrik semua pakem permusikan. Saat itu 1990-2000, terdapat banyak band yang ‘melampaui band’, dalam arti mereka juga mengeksplorasi bunyi, visual, dan aksi panggung, termasuk Black Boot dan Techno Shit.

Acara-acara pameran seni rupa juga dihiasi oleh pementasan musik yang kreatif, termasuk pada eksplorasi bunyi: noise art dan sound art. Di tahun 2003, Eko Nugroho membuat pameran di Gelaran Budaya yang dijuduli  “Sound Garden” yaitu menggabungkan antara bunyi dengan visual. Kelompok seperti House of Natural Fiber yang berjalan di jalur new media art,  juga termasuk yang hingga hari ini beraktivitas dekat dengan dunia permusikan semacam itu. Di generasi yang lebih muda, terdapat nama-nama ganjil yang merajai pentas-pentas semacam itu, seperti Black Ribbon, Sangkakala, dan Roll Ringtone. Selanjutnya ada Belajar Membunuh, The Tailor, Mural Trewelu, Hengky Strawberry. Di era vakumnya Black Ribbon ada Punkasila, Hengky Strawberry, Anus Apatis, Liwoth, The Spektakuler, dan El Jm Bt.

Pada masa kejayaan internet, muncul kembali fenomena yang digeber oleh para pelaku yang lebih fasih memanfaatkan jaringan ajaib itu. Wok The Rock menjalankan bisnis bahagianya dengan net label Yes No Wave, yang memberi ruang bagi produksi musik yang tak terserap label besar. Di masa kini beberapa pengusung bunyi memanfaatkan jaringan global itu untuk menyebarkan ajaran kebisingannya termasuk Sodadosa, Cangkang Serigala, Control-Z, Palasik, Bangkai Angsa, To Die, Asangata, Gemati, dan ‘black metal’ fenomenal: Bvrtan. Dalam konteks gerakan, Jogja Noise Bombing memberi warna berbeda dengan membawa aksi kebisingan dengan memanfaatkan ruang bebas.

Acara Bukan Musik Bukan Seni Rupa (BMBSR) untuk melihat fenomena terkini dari irisan ‘sejarah’ kreatif yang tercatat di tulisan ini. BMBSR dikemas dalam dua sesi, sesi pertama yaitu sesi aksi langsung, diikuti oleh para pelaku bunyi: Adit Arpapel, Black Enemy, Bvrtan, BBDKK, Cangkang Srigala, Control-Z, Chika x Pistol Air, Nikola Maunoud, Palasik, Sodadosa, dan S.A.O.K.

Sesi kedua adalah percobaan untuk menampilkan gagasan pertemuan antara bunyi dan visual, yaitu: Ahmad Idham, Akbar Hidayat, Agni Saraswati, Bertulang, Bongkar Pasang, Chika x Pistol Air & Friends, Faizal Rahman, Muis Sambas, Kelompok Belajar 345, Kandang Sapi, PMR, Sekilas, Sculpcrut, Tangan Reget, Titik Api, Reni Lampir & Jamal Abdul, Cahyo “peyok” Nugroho, Stevan Sixcio, Yudha Sasmito, dan Bambang Nurdiansyah. Sesi kedua ini lebih kurang masih merupakan percobaan untuk merambah wilayah ‘lain’ yang sengaja tidak dinamai, yaitu wilayah ‘bukan musik bukan seni rupa’. Percobaan ini masih perlu untuk dicermati lebih lanjut, sehingga tidak hanya rupa yang berbunyi atau bunyi yang dirupakan, tetapi menjajagi ajang persekutuan ‘jahat’ yang kreatif dan menggairahkan.

(bukan) kurator: Rain Rosidi, Krisna Widiathama, Ahmad Oka, Koskow Widyatmoko.